PEKANBARU (SULUHONLINE)-Ekonom senior Faisal Basri meninggal dunia hari ini, Kamis, 5 September 2024. Hingga akhir hayat, sosoknya dikenal sebagai ekonom yang berani dan kerap kali keras mengkritisi.
Karirnya dimulai sebagai akademisi. Pria kelahiran 6 November 1959 itu juga pernah berkarir di pemerintahan.
Dia pernah ditunjuk menjadi Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (Migas) oleh Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) yang kala itu dijabat Sudirman Said, pada 2014. Tujuannya adalah untuk membuat tata kelola migas transparan dan memberantas mafia.
Kala itu suara dari Faisal Basri sebagai ketua Tim tersebut menggemparkan sektor energi Tanah Air. Bagaimana tidak, Faisal Basri berhasil mengungkap bobroknya kinerja salah satu perusahaan energi yakni Pertamina Energy Trading Limited (Petral).
Ketika itu, Faisal pernah buka-bukaan kepada tim detikfinance mengenai tugas tim yang dipimpinnya itu. Kala itu, Faisal bercita-cita untuk membersihkan sektor minyak dan gas dari para mafia.
Dia juga mengatakan akan menelusuri terkait dugaan banyak mafia di balik kinerja Petral. "Tahu, nggak, satu perusahaan yang ikut tender di Petral? Nggak, kan? Siapa yang punya perusahaannya, ambil minyak dari mana, harganya berapa. Itu bagaikan akuarium yang butek. Nggak jelas bagaimana prosedur dan pemainnya. Tugas kami adalah menelusuri dari hulu sampai hilir sumbatan-sumbatan itu," kata Faisal ketika itu.
Berbagai temuan mencurigakan pun diungkap usai sebulan Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (Migas) dibentuk. Salah satu temuan dari Faisal dan Tim adalah Petral membeli BBM justru bukan dari produsen minyak langsung (national oil companies), akan tetapi malah dari trader.
Ada sejumlah rekomendasi yang disampikan Faisal bersama timnya. Pertama, menata ulang kewenangan penjualan dan pengadaan minyak mentah dan BBM.
Kedua, tender penjualan dan pengadaan minyak mentah dan BBM tidak lagi oleh Petral. Ketiga, mengganti secepatnya manajemen Petral dari tngkat pimpinan hingga manajer.
Keempat, menyusun kembali roadmap menuju world class trading oil company oleh manajemen baru. Kelima, kinerja Petral diminta untuk diaudit forensik agar segala proses transparan.
Pada pertengahan 2015, akhirnya PT Pertamina membubarkan anak usahanya itu Pertamina Energy Trading Limited (Petral). Salah satu alasan pembubaran itu memang terkait keterlibatan pihak ketiga dalam proses pengadaan minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM) lainnya.
Hal itu diungkapkan oleh Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said. "Karena yang terjadi selama ini akibat pengaturan pihak ketiga ini, diskon yang harusnya kita dapat sepuluh persen dari harga minyak, misalnya, menciut menjadi hanya dua persen," ungkap Sudirman.
Ia menegaskan, dengan adanya pembubaran Petral, maka diskon dari pembelian minyak dan BBM akan langsung diarahkan ke pemerintah lewat PT Pertamina.
Terkait kerugian negara dari praktik pihak ketiga dalam bisnis Petral, Sudirman belum menghitungnya. "Dalam audit forensik ini, tim membeberkan fakta-fakta orang-orang yang terlibat, apa-apa saja yang mereka perbuat. Tapi, belum dihitung berapa besar kerugian negara," ujar Sudirman.
Hilirisasi Nikel
Nama Faisal Basri juga mengobit dalam narasi hilirisasi nikel beberapa waktu belakangan. Awalnya, Faisal Basri menyebut Tiongkok mendapat keuntungan besar dari kebijakan hilirisasi nikel Indonesia. Persentasenya mencapai 90 persen dari total keuntungan yang jadi buah hasil hilirisasi. Disebutnya, hilirisasi nikel hanya menguntungkan negara lain, salah satunya Tiongkok, yang memiliki smelter nikel di RI. Indonesia hanya mendapatkan 10 persen dari keseluruhan keuntungan atas kebijakan tersebut.
"Hilirisasi sekadar bijih nikel jadi nickel pig iron (NPI) jadi feronikel lalu sembilan puluh sembilan persen diekspor ke China (Tiongkok, red). Jadi, hilirisasi di Indonesia nyata-nyata mendukung industrialisasi di Tiongkok. Dari hilirisasi itu, kita hanya dapat sepuluh persen, sembilan puluh persen ke Tiongkok," katanya dalam acara Kajian Tengah Tahun Indef bertemakan Menolak Kutukan Deindustrialisasi, dikutip dari CNN Indonesia.
Pada blog pribadinya, Faisal Basri secara gamblang menjawab semua hitungan versi Presiden Jokowi yang dinilainya tidak tepat dan tidak jelas hitungannya. "Angka-angka yang disampaikan Presiden tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya. Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati Tiongkok."
Lebih jauh Faisal Basri membeberkan pada 2014 nilai ekspor bijih nikel dengan kode HS 2604 hanya Rp1 triliun. Angka itu didapat dari ekspor senilai US$ 85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama, yaitu Rp 11,865 per dolar Amerika Serikat (AS).
Dia juga membeberkan, pada 2022, nilai ekspor besi dan baja dengan kode HS 72 yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah 27,8 miliar dolar AS. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per dolar AS, maka nilai ekspor besi dan baja setara dengan Rp413,9 triliun.
Dari paparan itu, Faisal Basri mengaku dia sepaham dengan Jokowi pada satu poin, hilirisasi memang memberikan lonjakan ekspor yang fantastis. Dari data di atas menurut Faisal Basri ada kenaikan nilai ekspor hingga 414 kali lipat.
"Terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan Presiden dan hitung-hitungan saya, memang benar adanya bahwa lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat sungguh sangat fantastis," ungkap Faisal Basri.
Namun, yang menjadi masalah bagi Faisal Basri adalah apakah uang hasil ekspor mengalir ke Indonesia? Pasalnya, dia mengatakan hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel yang memiliki nilai tambah sampai 100 persen justru dimiliki oleh Tiongkok.
"Indonesia menganut rezim devisa bebas, maka adalah hak perusahaan Tiongkok untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri," papar Faisal Basri.
Hal itu menurut Faisal Basri jauh berbeda dengan ekspor sawit dan turunannya yang dikenakan pajak ekspor atau bea keluar plus pungutan berupa bea sawit. Sebaliknya, untuk ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya. "Jadi, penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar," tegas Faisal Basri.
Faisal Basri memaparkan, keuntungan perusahaan sawit dan olahannya dikenakan pajak keuntungan perusahaan atau pajak penghasilan badan. Sedang, perusahaan smelter nikel bebas pajak keuntungan badan karena mereka menikmati kebijakan bebas pajak (tax holiday) selama 20 tahun atau lebih.
Keuntungan Nihil
Dia pun menyimpulkan penerimaan pemerintah dari laba luar biasa yang dinikmati perusahaan smelter nikel adalah nihil. Lebih lanjut, Faisal Basri menilai perusahaan-perusahaan smelter China menikmati karpet merah dari pemerintah karena dianugerahi status proyek strategis nasional.
"Kementerian Keuangan lah yang pada mulanya memberikan fasilitas luar biasa ini dan belakangan lewat Peraturan Pemerintah dilimpahkan kepada BKPM," kata Faisal Basri.
Dia pun kembali mempertanyakan apakah perusahaan smelter Tiongkok juga tidak membayar royalti? Pasalnya, menurut Faisal Basri, pembayaran royalti sama sekali tidak pernah terjadi. Selama ini, yang membayar royalti justru perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional.
Ini berbeda kondisinya dengan saat perusahaan masih dibolehkan mengekspor biji nikel. Pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor.
Faisal Basri mengaku sebetulnya dirinya mendukung sepenuhnya industrialisasi yang mau dilakukan pemerintah, tetapi dirinya menolak mentah-mentah kebijakan hilirisasi nikel dalam bentuknya yang berlaku sekarang. Dia mencap kebijakan hilirisasi sangat ugal-ugalan.
"Seperti yang diterapkan untuk nikel sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional. Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh China dan mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia," terang Faisal Basri.
Dia memaparkan, kebijakan hilirisasi nikel sudah berlangsung hampir satu dasawarsa. Namun, justru peranan sektor industri manufaktur nyatanya terus menurun. Data yang dia paparkan, peranan sektor manufaktur turun dari 21,1 persen di tahun 2014 menjadi hanya 18,3 persen pada tahun 2022. Bahkan, peranan sektor manufaktur berada di titik terendah sejak 33 tahun terakhir.
Keberadaan smelter nikel juga dinilainya tidak memperdalam struktur industri nasional. Produk smelter dalam bentuk besi dan baja tidak semuanya bisa langsung dipakai di dalam negeri. Misalnya untuk industri otomotif, pesawat terbang, kapal, bahkan untuk industri peralatan rumah tangga seperti panci, sendok, garpu, dan pisau sekalipun.
Produk besi dan baja yang diproduksi dan diekspor terdiri dari banyak jenis. Menurutnya yang dikatakan oleh Jokowi adalah produk induknya atau produk di kelompok kode HS 72.
Sementara itu, hampir separuh ekspor HS 72 adalah dalam bentuk ferro alloy atau ferro nickel. Ada pula yang masih dalam bentuk nickel pig iron dan nickel mate. Hampir semua produk-produk itu tidak diolah lebih lanjut, melainkan hampir seluruhnya diekspor ke China.
Sejauh ini menurutnya tidak satu pun pabrik smelter yang berada di Sulawesi telah memproduksi baterai untuk kendaraan listrik atau besi baja sebagai finished products. Rel untuk kereta cepat saja seluruhnya masih diimpor dari Tiongkok.
"Di Tiongkok, produk-produk seperempat jadi itu diolah lebih lanjut untuk memperoleh nilai tambah yang jauh lebih tinggi. Lalu, produk akhirnya dijual atau diekspor ke Indonesia. Dalam porsi yang jauh lebih rendah adalah semi-finished products (barang setengah jadi, red)," kata Faisal. (SOI)
Tantang Luhut
Faisal juga menilai program hilirisasi punya konsep yang sesat. "Hilirisasi itu konsep yang sesat. Nggak ada yang bilang sesat itu. Nggak ada (di Debat Pilpres 2024, red). Konsep yang sangat sesat itu," katanya dalam Diskusi Publik Indef di Manhattan Hotel, Jakarta Selatan, pada awal tahun 2024.
Ia mengaku sanggup berdebat dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan untuk membuktikan hal itu. Faisal Basri juga mengajak Co-Captain Timnas Amin Thomas Trikasih Lembong melawan Luhut.
"Saya bisa debat, deh, dengan Luhut secara terbuka gitu. Anda organisir aja. Saya sama Tom Lembong, deh, berdua, lawan Luhut Pandjaitan dengan Seto (Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves)," tambahnya.
Beberapa waktu lalu juga menyebut keputusan pemerintah melarang ekspor sejumlah komoditas justru merugikan produsen dalam negeri. "Sebejat-bejatnya kebijakan adalah melarang, karena melarang itu mematikan pasar. Nggak boleh dagang ke luar negeri, yang paling menderita produsen dalam negeri. Harganya anjlok, kan, dalam negeri, karena (stok, red) jadi banjir," katanya dalam Seminar Nasional Presisi Cegah Korupsi di Jakarta, Kamis 14 September 2023.
"Harga anjlok dibeli China, dibikin smelter, dijual ke China. Pinter nggak kita? Itulah sebejat-bejatnya kebijakan. Kalau bisa jangan larang melarang. Norak," katanya lagi.
Terkait larangan ekspor nikel ini, almarhum juga pernah menyampaikan bahwa ada beberapa pihak terlibat dalam ekspol ilegal nikel. Ia beberapa kali menyampaikan keterlibatan menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution, serta Luhut Panjaitan terlibat dalam ekspor ilegal nikel. Informasi tersebut disampaikannya di berbagai kesempatan dan forum, juga tersebar luas di konten-konten media sosial. Ia menegaskan, data itu sendiri didapatkannya dari KPK. (SOI)